Penghimpunan dan Penulisan Al-Qur’an
pada Masa Nabi Muhammad SAW dan Kodifikasi Al-Qur’an pada Masa Sahabat
MAKALAH
Disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah ulum al-Qur’an
Oleh :
Kelompok
3, Kelas PIHA1 Prodi Ilmu Hukum
1. Maulana
Hasanudin 1502056002
2. Dwi
Agung Riyadi 1502056007
3. Dedy
Haryadi 1502056008
4. Ahmad
Dihaul Khairi 1502056016
5. Shalahuddin
Al Ayubi 1502056036
KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK
INDONESIA
UIN WALISONGO SEMARANG
FAKULTAS SYARIAH & HUKUM
Jalan
Prof. DR. Hamka Ngaliyan Semarang 50185, Telp. (024) 7604554
2015
ABSTRAK
Kehidupan
manusia yang membutuhkan sebuah interaksi yang bersifat sosial membutuhkan
sebuah cara untuk menempatkan posisi yang sesuai dengan aturan di masyarakat.
Cara memposisikan diri seorang manusia akan terlihat secara nyata ketika dapat mengetahui
etika dalam bergaul itu sendiri karena manusia adalah mahluk sosial.
Al-Qur’an
sebagai pedoman hidup umat muslim di seluruh dunia menjadi dasar bagaimana
berprilaku yang baik sesuai tuntunan yang telah diberikan. Proses inilah akan
semakin kuat ketika kita bisa mengetahui mengenai sejarah maupun sebuah proses.
Adapun proses penghimpunan al-Qur’an yang terjadi dari masa nabi Muhammad SAW
dan kodifikasi pada masa sahabat merupakan bagian dari proses sejarah al-Qur’an
sampai kepada tangan kita semua sebagai umat muslim di seluruh penjuru dunia.
Makna tujuh huruf dalam kodifikasi al-Qur’an memberikan warna tersendiri dalam
proses penghimpunan al-Qur’an pada waktu itu.
Khazanah
pemikiran itulah yang harus dijadikan pedoman oleh manusia sebagai alat untuk
mencapai kebahagiaan. Kita harus mengetahui mengenai arti dari sebuah proses
sejarah yang sesungguhnya, sehingga kita dapat mengaplikasikannya dalam
kehidupan sehari-hari.
Al-Qur’an menjadi pengobat rindu akan
kehidupan yang sesuai dengan ajaran agama islam. Kehidupan yang tenteram, aman,
nyaman serta sukses dunia dan akhirat, akan tertuang pada sebuah konsep yang
menjadi pedoman umat manusia untuk mencapai sebuah kebahagiaan yang
sesungguhnya. Sehingga terwujudnya insan kamil (manusia sempurna) yang menjadi
cita-cita setiap diantara kita sebagai hamba Allah SWT.
DAFTAR ISI
ABSTRAK ....................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
BAB I
PENDAHULUAN................................................................................ 1
A. Latar
Belakang Masalah ...................................................................... 1
B. Tujuan
Penulisan .................................................................................. 2
C. Rumusan Masalah ................................................................................ 2
D. Sistematika
Penulisan ........................................................................... 2
E. Metodelogi Penelitian ........................................................................... 3
BAB II
PEMBAHASAN ................................................................................ 4
A. Pengertian Penghimpunan dan Kodifikasi Al-Quran............................... 4
B. Penghimpunan
Al-Quran pada Masa Nabi Muhammad SAW ............... 6
C. Kodifikasi Al-Quran
pada Masa Abu Bakar Ash Shiddiq ..................... 8
D. Kodifikasi
Al-Quran pada Masa Ustman bin Affan ............................. 12
E. Makna Tujuh
Huruf dalam Kodifikasi Al-Qur’an.................................. 16
BAB III PENUTUP ....................................................................................... 19
A. Kesimpulan ................................................................................................. 19
B. Saran .......................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 21
KATA PENGANTAR
Assalamua’alaikum.,w.,w.
Bismillahirrahmanirrahiim
Bumi nan
indah terasa hampa tanpa rahmat-Mu. Langkah kaki tidak akan berpijak tanpa
ridha-Mu. Puji dan sukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah yang maha
ghafur, karena-Nya kita semua pada kesempatan ini masih diberikan nimkat sehat
dan panjang umur. Semoga menjadikan kita sebagai hamba yang senatiasa bersukur
dan bertafakur.
Shalawat
dan salam marilah kita sampaikan kepada suri tauladan kita, sang pembela
kebenaran, pahlawan islam yaitu Nabi Muhammad SAW, semoga sampai pula kepada
keluarganya, para sahabatnya dan kita semua selaku umatnya.
Ucapan
terima kasih kami sampaikan kepada :
1.
Kehadirat Allah
Subhanahuawata’ala.
2.
Ibu Lathifah
Munawaroh, Hj., Lc., MA., selaku dosen pengampu mata kuliah ulum al-quran.
3.
Kepala UPT
Perpustakaan Fakultas Syariah sebagai unit penyedia sumber informasi.
4.
Semua pihak yang
telah memberikan bantuan baik itu materil maupun moril sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini.
Kami sebagai
penulis pun menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak
kekurangan, kritikan ataupun saran yang membangun, kami sangat menunggu demi perbaikan
serta pembelajaran dimasa yang akan datang.
Semarang, 6 Oktober 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an menjadi salah satu dari kitab
suci yang Allah turunkan kepada nabi dan rasul-Nya . Tidak ada yang meragukan
lagi al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat muslim, diturunkan kepada manusia
pilihan nabi Muhammad SAW sebagai mukjizat yang diberikan Allah. Tentunya
sejarah mengenai turunnya al-Qur’an menjadi sesuatu yang sangat penting
dipelajari oleh umat muslim. Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang sangat luar
biasa diturunkan untuk dijadikan sebuah tuntunan dalam kehidupan. Malaikat
jibril sebagai perantara yang terpercaya menyampaikan wahyu-wahyu Allah ke
dunia.
Secara bertahap al-Qur’an diturunkan,
selama 22 tahun 6 bulan, 23 hari merupakan waktu yang bukan sedikit. Sebutan
nama-nama lain seperti al-Huda, al-Furqan,
al-Kitab, adz-Dzikru, as-Syifa, dan banyak yang lainnya, menambah
keistimewaan al-Qur’an. Wahyu yang diturunkan dalam bahasa arab telah ditulis
dengan sangat hati-hati agar terpelihara secara ketat serta mencegah
kemungkinan terjadinya manipulasi isi didasarkan pada isnad yang mutawatir.
Pada zaman Rasulullah SAW al-Qur’an belum
menjadi satu kesatuan dalam bentuk mushaf. Al-Hakim di dalam al-Mustadrak mengutip sebuah hadist
dengan isnad menurut Bukhori dan
Muslim serta berasal dari Zaid bin Tsabit yang mengatakan, “ Di kediaman
Rasulullah kami dahulu menyusun ayat-ayat al-Qur'an yang tercatat pada riqa’ ”.[1] Kata riqa’ inilah yang diartikan sebagai lembaran kulit, lembaran daun
atau lembaran kain. Adapun perkembangan selanjutnya mengenai bagaimana
kodifikasi al-Quran diteruskan oleh para sahabat.[2]
Abu Bakar Ash-Shidiq dan Ustman bin Affan ialah sahabat yang mashur mengenai
perjalanan al-Qur’an hingga menjadi sebuah mushaf.
Sejarah
dan sebab turunnya al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW tentunya telah kita
pelajari. Untuk mencapai pada puncak kebahagiaan dunia dan akhirat merupakan
sebuah cita-cita setiap umat. Sejarah menyebutkan bahwa al-Qur’an menjadi
pedoman hidup umat muslim, maka sebagai muslim kita harus mengetahui bagaimana penghimpunan
dan penulisan al-Qur’an serta kodifikasinya dari waktu ke waktu. Adapun kami membuat
sebuah makalah yang berjudul “ Penghimpunan
dan Penulisan Al-Qur’an pada Masa Nabi Muhammad SAW dan Kodifikasi Al-Quran
pada Masa Sahabat ”. Kajian ini sangat penting dan bersifat historical studies. Dengan demikian
kajian ini menjadi urgen untuk mebuktikan bahwa al-Qur’an yang ada pada saat
ini merupakan al-Qur’an yang sama diturunkan oleh Allah SWT.
B.
Tujuan Penulisan
1.
Melaksanakan
tugas mata kuliah ulum al-Qur’an.
2.
Mengetahui
sebuah proses penghimpunan al-Qur’an dari masa nabi Muhammad SAW sampai sahabat.
3.
Memberikan
kajian yang deskriptif bagi para pembaca.
C.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian
penghimpunan dan kodifikasi ?
2.
Bagaimana
penghimpunan dan penulisan al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW ?
3.
Bagaimana kodifikasi
al-Qur’an pada masa Abu Bakar Ash Shiddiq ?
4.
Bagaimana
kodifikasi al-Qur’an pada masa Ustman bin Affan ?
5.
Bagaimana Makna
Tujuh Huruf dalam Kodifikasi al-Qur’an ?
D.
Sistematika Penulisan
ABSTRAK
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah
- Tujuan Penulisan
- Rumusan Masalah
- Sistematika Penulisan
- Metodelogi Penelitian
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Penghimpunan dan Kodifikasi Al-Quran
B.
Penghimpunan
Al-Quran pada Masa Nabi Muhammad SAW
C.
Kodifikasi Al-Quran
pada Masa Abu Bakar Ash Shiddiq
D.
Kodifikasi
Al-Quran pada Masa Ustman bin Affan
E.
Makna Tujuh
Huruf dalam Kodifikasi Al-Qur’an
BAB III PENUTUP
- Kesimpulan
- Saran
DAFTAR PUSTAKA
E.
Metodelogi Penulisan
Penelitan
mengenai makalah ini kami lakukan dengan cara pustaka yaitu mencari informasi
dari buku serta media lainnya yang mendukung.
[1]Al-Itqan
I, hal. 99 dan Al-Burhan, hal.237. dari DR.Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Quran, Terj. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1990)
hlm.87.
[2]DR.Subhi
As-Shalih, Ibid., hal.87.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Penghimpunan atau Kodifikasi Al-Qur’an

Artinya :
Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah
penghimpunannya (di dalam dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.
Dari ayat di atas kita mengetahui bahwa
arti penghimpunan bermakna “penghafalan”. Bahwa Allah SWT telah memberikan
karunia-Nya kepada Nabi Muhammad SAW sebagai penghafal al-Qur’an yang pertama
tertanam dalam dada atau qalbu. Beliau
dikenal sebagai Sayyidul Huffadz dan Awwalul-Jumma’, manusia pertama
penghafal al-Qur’an tak ada bandingannya.[4]
Adapun arti lain dari penghimpunannya (jam’ahu) ialah “penulisan” yakni,
penulisan seluruh al-Qur’an yang memisahkan masing-masing ayat dan surah; atau
hanya mengatur susunan ayat-ayat al-Quran saja dan susunan tiap surah shahifah tersendiri.[5]
Sebagaimana terdapat dalam QS. Al-An’am (7) Allah berfirman :

Artinya: Dan kalau kami turunkan
kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat menyentuhnya dengan tangan
mereka sendiri, tentulah orang-orang kafir itu berkata : ” Ini tidak lain
hanyalah sihir belaka ”.
Ayat tersebut menerangkan bahwa al-Qur’an
tidak ditulis dalam sebuah kertas dengan arti lain belum dibukukan. Dengan
demikian arti penghimpunan bermakna “penulisan” jelas adanya. Bahwa proses
penulisan terjadi karena kehendak manusia.
Menurut Al-Zarkani bahwa kodifikasi al-Qur’an
ada dua media, pertama “ penghafalan
dan penjagaan dalam dada” medianya ialah hati dan dada, kedua “penulisan secara keseluruhan”, huruf demi huruf, kata demi
kata, kalimat demi kalimat dalam shahifah-shahifah
dan lembaran-lembaranya.[6] Proses tersebut dilakukan dengan cara penukilan bukan periwayatan
dengan dua realitas yaitu penghafalan di dalam dada dan penulisannya dalam
lembaran.[7]
Menurut Ahmad Von Denffer, istilah
pengumpulan al-Qur’an (jam’u al-Qur’an) dalam literatur klasik ini mempunyai
berbagai makna, antara lain[8]:
1.
Al-Qur’an
dicerna oleh hati.
2.
Menulis kembali
tiap perwahyuan.
3.
Menghadirkan
material al-Qur’an untuk ditulis.
4.
Menghadirkan
laporan (tulisan) para penulis wahyu yang telah menghafal al-Qur’an.
5.
Menghadirkan
seluruh sumber, baik lisan maupun tulisan.
Dengan demikian bahwa penghimunan atau kodifikasi al-Qur’an merupakan suatu
cara dimana al-Qur’an itu mejadi satu-kesatuan wahyu Allah dalam sebuah mushaf.
Adapun caranya yaitu melalui penghafalan dan penulisan. Penukilannya berarti
memindahkan materi yang sama dari sumber asli ke dalam mushaf.
B.
Penghimpunan
Al-Quran pada Masa Nabi Muhammad SAW
Sebagaimana kita ketahui, Rasulullah
mempunyai beberapa orang pencatat wahyu. Diantarannya, empat orang sahabat yang
kemudian menjadi para khalifah rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali)
Mu’awiyah, zaid bin Tsabit, Khalid bin al-Walid, Ubay bin Ka’ab dan Tsabit bin
Qais. Beliau menyuruh mereka mencatat setiap wahyu yang turun, sehingga
al-Qur’an yang terhimpun di dalam dada menjadi kenyataan tertulis.[9]
Semasa Nabi Muhammad SAW pengumpulan
al-Qur’an dilakukan dengan dua cara, hafalan dan penulisan dalam lembaran (shuhuf). Al-Qur’an secara lisan telah
dinukil melalui hafalan dari nabi Muhammad SAW kepada para sahabat.[10]
Dalam QS. Al-Qiyamah (18-19) Allah berfirman :


Artinya:
“Apabila kami telah selesai memebacakannya maka ikutilah bacaan itu kemudian
sesungguhnya atas tanggungan kami penjelasannya”.
Ketika nabi Muhammad SAW menyampaikan
wahyu disamping beliau menginstruksikan agar dihafalkan, beliau juga meminta para
penulis wahyu kuttab al wahy untuk mendokumentasikannya.
Adapun jumlah penulis wahyu telah di laporkan Al Katani dari berbagai sumber;
Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib adalah penulis wahyu Rasulullah SAW.
Jika keduanya tidak ada maka Ubay bin kaab dan Zaid bin Tsabit yang menulis.
Ubay adalah salah satu penulis rasul sebelum Zaid, sedangkan Zaid adalah orang
yang menugaskan para sahabat untuk menulis wahyu. Jika Ubay tidak hadir rasul
akan memanggil Zaid bin Tsabit. Jika salah seorang diantara mereka tidak hadir
wahyu akan ditulis oleh siapapun yang hadir diantara mereka, seperti Muawiyah,
Jabir bin Said bin Al Ash, Iban bin Said, Al ‘Ala Al Hadhrami, Handlalah bin Arrabi.[11]
Namun ketika penulisan al-Qur’an ini
dilakukan oleh para penulis wahyu ketika itu orang arab belum mengenal kertas,
Istilah waraq pada zaman itu
digunakan untuk menyebut daun kayu saja, sedang qirthas digunakan untuk benda-benda untuk menulis, seperti kulit
binatang, batu tipis, pelepah kurma, tulang belulang, dan lain-lain.[12]
Setelah itu materi yang ditulis tadi disimpan pada rumah Rasulullah. Semua
itu telah terkumpul dalam bentuk lembaran-lembaran. Allah telah berfirman:


Artinya:
“Yaitu seorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lebaran yang
disucikan ( Al Qur’an ) didalamnya terdapat (isi) kitab-kitab yang lurus. ( QS.
AL Bayyinah 2-3)
Mengenai penulisan rasm dan susunan ayat-ayat dalam surat al-Qur’an semuanya telah diatur
oleh Allah SWT. Utsman menuturkan:
Artinya:
“Suatu ketika sebuah surah yang panjang telah turun kepada Rasul SAW jika telah
turun sesuatu beliau memanggil sebagian orang yang biasa menulis (wahyu) lalu
beliau akan bersabda: letankkanlah ayat-ayat itu dalam surat yang menyatakan
begini dan begini jika satu ayat turun kepada beliau maka beliau bersabda :
letakkan ayat ini di tengah surat yang menyatakan begini-begini,’’
Zakarsyi berpendapat
bahwa pada masa Rasulullah al-Qur’an tidak tertulis pada Mushaf untuk mencegah
kemungkinan terjadinya perubahan sewaktu-waktu. karena itulah
penulisannya ditangguhkan hingga al-Qur’an turun selengkapnya pada saat Rasulullah
berpulang ke rahmahtullah.[13]
Dengan demikian pada zaman Rasulullah SAW
penghimpunan atau pengumpulan al-Qur’an telah dilaksanakan baik dihafalkan
secara lisan maupun dikumpulan dalam bentuk tulisan secara material, bahwa
penyusunan al-Qur’an tidak dihimpun dalam mushaf, karena ada nash dan manshuh dalam setiap ayat yang turun, himpunan demikian itu memang
belum dibutuhkan karena wahyu belum
secara tuntas diturunkan kepada Rasulullah sampai beliau wafat, serta
para sahabat menghafal al-Qur’an di dalam dada sesuai petunjuk Rasul.
Sesungguhnya setiap ayat yang dicatat dan
disimpan di rumah Rasulullah SAW. Sedangkan para pencacat membawa salinannya
untuk mereka sendiri, sehingga terjadinya saling kontrol pada naskah yang
berada ditangan para pencatat wahyu itu
dan suhuf yang berada dirumah Rasulullah. Di samping itu ada kontrol lain dari
para sahabat Rasul yang menghafal al-Qur’an baik yang buta huruf maupun tidak.
Keadaan itulah yang menjamin al-Qur’an
tetap terjaga dan terpelihara keasliannya, sebagai mana ditegaskan oleh Allah
dalam QS. Al Hijr (9)
Artinya
“Kamilah yang menurunkan al-Qur’an dan kami juaglah yang menjaganya”
C.
Kodifikasi
Al-Quran pada Masa Abu Bakar Ash Shiddiq
Pasca wafatnya Rasulullah para sahabat belum merasa perlu agar al-Qur’an
dikumpulkan dalam satu kitab, hingga terbunuhnya sejumlah penghafal al-Qur’an.
Orang pertama yang menghimpun al-Qur’an adalah Abu bakar Ash Shiddiq.
Pada masa tersebut terjadi perang Riddah
pada tahun 10 H atau 632 M dan perang Yamamah
pada tahun 11 H atau 633 M, dalam peperangan tersebut sejumlah penghafal dan qurra’ telah terbunuh ada yang mengatakan
70 orang dan ada yang mengatakan 500 orang. Kondisi ini sempat mencemaskan Umar
bin Khatab yang dikhawatirkan akan berdampak pada hilangnya sebagian suhuf,
lalu mengajukan hal ini kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan al-Qur’an.[14]
Akan tetapi, Abu Bakar menolak usulan ini dan keberatan melakukan apa yang
tidak dilakukan Rasulullah SAW. Namun Umar bin Khatab tetap membujuknya,
sehingga Allah membukakan hati Abu Bakar untuk menerima usulan tersebut.
Kemudian Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit, mengingat kedudukannya dalam
masalah qira’at, hafalan, penulisan pemahaman dan kecerdasannya serta
kehadirannya pada pembacaan yang terakhir kali. Abu Bakar menceritakan
kepadanya kekhawatiran dan usulan Umar. Pada awalnya Zaid menolak seperti
halnya Abu Bakar pada waktu itu. Keduaanya lalu bertukar pendapat sampai
akhirnya Zaid menerima dengan lapang dada perintah penulisan mushaf al-Qur’an
itu.[15]
Pengumpulan yang dilakukan
yaitu memindahkan semua tulisan yang semula terdapat dalam riqa’ kemudian
dikumpulkan dalam satu mushaf. Karena kekhawatiran beliau akan
hilangnya al-Qur’an setelah para penghafal al-Qur’an wafat dalam peperangan.[16]
Dari keterangan di atas maka kita mengetahui bahwa pada masa Abu Bakar
terjadi perdebatan yang sangat alot, antara Umar bin Khatab sebagai penggagas
kodifikasi al-Qur’an dengan Abu Bakar Ash Shiddiq sebagai khalifah pada masa
itu. Setelah melalui perdebatan yang a lot tersebut maka Abu Bakar menerima
gagasan Umar tersebut karena beralasan bahwa ini adalah benar-benar sesuatu
yang baik.
Zaid bin Tsabit berkata, “ Abu Bakar memanggilku untuk menyampaikan berita
mengenai korban perang Yamamah. Ternyata
Umar sudah ada di sana. Abu Bakar berkata, ‘ Umar telah datang kepadaku dan
mengatakan, bahwa perang di Yamamah telah menelan banyak korban dari kalangan qurra’ dan ia khawatir kalau-kalau
terbunuhnya para qurra’ itu juga akan
terjadi di tempat-tempat lain, sehingga sebagian besar al-Qur’an akan musnah.
Ia menganjurkan agar aku memerintahkan seseorang untuk mengumpulkan al-Qur’an.
Maka aku katakan kepadanya, bagaimana mungkin kita akan melakukan sesuatu yang
tidak pernah dilakukan Rasulullah ? Tetapi Umar menjawab dan bersumpah, “ Demi
Allah, perbuatan tersebut baik.” Ia terus menerus membujukku sehingga Allah
membukakan pintu hatiku untuk menerima usulnya dan akhirnya aku sependapat
dengan Umar.” Abu Bakar berkata kepadaku lanjut Zaid, “ Engkau seorang pemuda
yang cerdas dan kami tidak meragukan kemampuanmu. Engkau telah menuliskan wahyu
untuk Rasulullah. Oleh karena itu carilah al-Qur’an dan kumpulkanlah.” Jawab
Zaid, “ Demi Allah, sekiranya mereka memintaku untuk memindahkan gunung,
rasanya tidak berat bagiku daripada perintah mengumpulkan al-Qur’an. Karena itu
aku menjawab, “ Mengapa anda berdua ingin melakukan sesuatu yang tidak pernah
dilakukan Rasulullah ? ” Abu Bakar menjawab, “ Demi Allah, ini adalah sesuatu
yang baik.” Abu Bakar tetap membujukku sehingga Allah telah membukakan hatiku
sebagaimana Abu Bakar dan Umar. Maka aku pun mulai mencari al-Qur’an.[17]
Abu ‘Abdullah Al Muhasabi mengatakan dalam buku fahmus sunnah “penulisan al-Qur’an bukan soal baru karena
Rasulullah sendiri telah memerintahkan penulis-penulisannya. Tapi ketika itu
masih tercecer dalam berbagai lembaran kulit dan daun, tulang-tulang unta
dan kulit kambing yang kering, atau pada
pelepah kurma. Kemudian Abu Bakar memerintahkan penghimpunannya menjadi sebuah
naskah. Juga naskah al-Qur’an yang tertulis dalam lembaran-lembaran kulit yang
terdapat di dalam rumah Rasulullah saat itu masih dalam keadaan terpisah-pisah.
Kemudian dikumpulkan oleh seorang sahabat, lalu diikatnya dengan tali agar
tidak hilang”.[18]
Cara Zaid bin Tsabit mengumpulksan al-Qur’an pada zaman Abu Bakar
sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab Al Bukhari:
“Maka aku melakukannya, kemudian
aku meneliti Al Quran, aku mengumpulkannya dari lempengan tulang binatang,
pelepah qurma, batu tipis dan dada (hafalan) tokoh-tokoh penghafalnya hingga
aku menemukan dua ayat dari surat at Taubah pada huzaymah al anshari yang tidak
aku temukan pada yang lain: hingga akhir, lembaran-lembaran yang didalamnya Al
Quran telah dikumpulkan itu ada pada Abu bakar hingga Allah mewafatkan beliau
kemudian di tangan Umar hingga Allah mewafatkan beliau kemudian berpindah ketangan Hafsah bin
Umar.”
Keterangan ini menjelaskan metode Zaid bin Tsabit dalam mengumpulkan al-Qu’ran
bahwa pengumpulan tersebut berpijak dalam dua hal[19]:
1. Hafalan
yang tersimpan pada dada sahabat.
2. Materi
yang tertulis didepan Rosul dan materi tersebut tidak diterima, kecuali dengan
kesaksian dua orang yang adil.
Menurut Sakhawi sebagaimana yang
dinukil As Suyuthi bahwa yang dimaksud dengan disaksikan oleh dua orang adalah
bahwa hal itu merupakan sesuatu yang ditulis sebagai mana bentuk yang dengannya
al-Qur’an telah diturunkan atau bahwa yang ditulis itu memang telah ditulis di depan
Rasulullah SAW.[20]
Perintah kodifikasi al-Qur’an oleh Abu Bakar selesai dilaksanakan dalam
waktu satu tahun . Zaid menerima perintah beberapa saat setelah berakhirnya perang Yamamah pada tahun 11 H dan
rampung beberapa waktu menjelang wafatnya Abu Bakar. Kita ingat akan kalimat
yang diucapkan Ali bin Abi Thalib “Semoga Allah melimpahkan rahmatnya kepada
Abu Bakar , orang pertama yang menghimpun kitabullah di antara lauh mahfudz dan
mushaf”.[21]
Adapun Umar bin Khatab , dalam sejarah ia tercatat sebagai pemilik gagasan
kodifikasi al-Qur’an , sedangkan Zaid bin Tsabit tercatat sebagai pelaksana
teknis.[22]
Al-Qur’an hasil kodifikasi Zaid bin Tsabit berada ditangan Abu Bakar sampai
beliau wafat. Kemudian berpindah tangan kepada Umar bin Khatab sebagai khalifah kedua dan beliau pun wafat.
Setelah khalifah Umar wafat mushaf
disimpan oleh Hafshah binti Umar dan bukan kepada tangan Utsman bin
Affan. Lalu jika ada pertanyaan mengenai kenapa mushaf tersebut
tidak diberikan kepada Utsman bin Affan sebagai yang mustahak ?[23]
Pertanyaan tersebut dapat dijawab, karena Hafshah adalah isteri Rasululullah
SAW putri dari Umar bin Khatab, Ummul
‘Muminin. Seoarang wanita penghafal al-Qur’an, pandai baca tulis. Pada saat
itu belum ada pengganti umar sebagai khalifah, sedangkan Utsman bin Affan belum
menjadi khalifah.
Penamaan al-Qur’an dengan mushaf timbul pada masa khalifah Abu Bakar.
Setelah al-Qur’an dikodifikasi dan ditulis pada kertas, Abu Bakar memerintahkan
kepada para sahabat untuk mencarikan namanya. Ketika itu ada yang mengusulkan
nama As-Sifr, namun Abu Bakar tidak
setuju karena nama tersebut biasa dipakai orang-orang yahudi. Lalu ada yang
mengusulkan nama al-Mushaf, Akhirnya
semuannya sepakat menamai al-Qur’an yang telah dikodifikasi dengan nama mushaf.[24]
Mushaf abu Bakar, seluruh isinya dan kebenaran kemutawatiranya didukung bulat
oleh seluruh umat islam. Banyak ulama berpendapat bahwa cara penulisannya
menggunakan “tujuh buah huruf” sebagaimana yang berlaku pada turunnya al-Qur’an.
Dilihat dari segi itu maka mushaf Abu Bakar Ash Shiddiq serupa dengan ayat-ayat
pertama yang dihimpun pada masa Rasulullah masih hidup.[25]
D.
Kodifikasi
Al-Quran pada Masa Ustman bin Affan
Jika motif Abu Bakar Ash Shidiq bersama
para sahabat pada masanya untuk mengumpulkan al-Qur’an dalam mushaf karena
khawatir akan hilangnya materi tertulis, sebagai akibat dari banyaknya penulis
dan penghafal al-Qur’an pada masa Rasulullah telah meninggal dunia.
Adapun motif atau tujuan khalifah Utsman
bin Affan untuk mengumpulkan al-Qur’an dalam mushaf, yaitu karena takut akan
terjadinya perbedaan yang meruncing mengenai ragam bacaan.[26]
Pengumpulannya dilakukan
dengan menyalinnya dalam satu mushaf bersumber pada mushaf induk Abu Bakar ,
menggunakan satu huruf di antara ketujuh huruf itu. Karena
banyaknya perbedaan dalam hal qira’at pembacaan al-Qur’an yang terjadi
di daerah-daerah kekuasaan Islam, yang puncaknya saling menyalahkan satu sama
lain.[27] Sebagaimana Hudzaifah Al-Yaman
riwayat Bukhori, yang menuturkan :
Jagalah
umat ini, sebelum mereka memperselisihkan al-Qur’an ini sebagaimana
perselisihan orang Yahudi dan Nasrani. Maka, Utsman menulis surat kepada Hafsah
: Kirimkanlah kepadaku lembaran-lembaran itu. Kami akan menggandakannya menjadi
sejumlah mushaf, kemudian kami akan mengembalikannya kepada anda (Hafshah).
Hafshah pun mengirimkannya kepada Utsman. Beliau lalu memerintahkan Zaid bin
Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘Ash, Abdurrahman bin Al-Harits bin
Hisyam. Merekan kemudian menggandakannya menjadi beberapa mushaf. Ustman
berkata kepada tiga kelompok orang Quraisy tersebut: Jika kalian berbeda dengan
Zaid bin Tsabit terhadap al-Qur’an, maka tulislah menggunakan bahasa mereka.
Mereka pun melakukannya, hingga mereka selesai menggandakan lembaran-lembaran
tersebut menjadi sejumlah mushaf. Utsman pun mengembalikan lembaran-lembaran
tersebut kepada Hafshah dan setiap penjuru dikirim satu mushaf yang telah
mereka gandakan. Beliau juga memerintahkan lembaran atau mushaf al-Qur’an yang
lain untuk ditukar.[28]
Berdasarkan riwayat di atas dapat
disimpulkan bahwa pengumpulan al-Qur’an yang terjadi pada masa Utsman bin Affan
tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut[29]:
1. Menggandakan
tulisan yang sama yang telah dikumpulkan oleh Zaid bin Tsabit pada masa Abu
Bakar, dimana kumpulan tulisan yang berbentuk shuhuf itu telah disimpan secara berturut-turut, masing-masing di
sisi Abu Bakar, Umar dan Hafshah. Dari tangan Hafshahlah, Utsman memperoleh
naskah asli atau mushaf al-Qur’an untuk digandakan menjadi beberapa eksemplar
mushaf.
2. Orang
yang ditunjuk Utsman bin Affan sama dengan yang dipilih oleh Abu Bakar, yaitu
Zaid bin Tsabit.
3. Kasus
pembakaran mushaf lain, selain yang ada pada Hafshah dan duplikatnya, bertujuan
untuk menyamakan mushaf dan meninggalkan syadz
serta tafsir-tafsir tambahan lain.
Dari
Hadis di atas pun DR. Subhi As Shalih dalam bukunya menyebutkan bahwa khalifah
Utsman mengirimkan salinan mushaf hasil kerja komisi empat itu ke
daerah-daerah. Adapun mushaf-mushaf lain selain mushaf Hafshah yang paling
terkenal luas adalah mushaf yang pencatatannya dilakukan oleh Ubay bin Ka’ab
dan Abdullah bin Mas’ud.[30]
Mushaf-mushaf inilah yang memunculkan pertengkaran dan perselilisahan.
Mushaf-mushaf itu tidak sampai ke tangan kita semua. Kita mengetahui hal itu
hanya dari riwayat-riwayat tentang penyusunan surah-surah al-Qur’an dan tentang
beberapa macam bacaannya. [31]
Komisi empat yang ditetapkan itu mulai
melaksanakan tugasnya pada abad 25 H.[32]
Diperintahkan untuk menyalin mushaf hafshah, sekalipun mereka merupakan
penghafal al-Qur’an. Perintah tersebut mengandung maksud agar salinan mushaf
benar berseumber dari Abu Bakar Ash Shiddiq.[33]
Mushaf al-Qur’an Utsman bin Affan mencakup
seluruhnya yaitu : 114 surat, ditulis tanpa titik tanpa syakl sehingga penulisannya hanya berupa huruf lambing yang dapat
dibaca lebih dari satu cara, tanpa nama surah tanpa tanda-tanda pemisah, persis
mengikuti jejak penulisan mushaf Abu Bakar. Tidak pula mencantumkan uraian atau
tafsir.[34]
Misalnya pada QS. Al-Hujurat (6) :



Lafadz
ayat yang digaris bawahi tersebut fatabayyanuu yang berarti “hendaklah kalian
teliti”- ditulis dengan huruf tanpa syakl
tulisan tersebut dapat pula dibaca : fatatsabbatuu
yang bermakna: “hendaklah kalian periksa kepastiannya”.[35] Contoh lain pada firman Allah, “وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ” (Al-Baqarah:
10) Pada qiro’at yang lain untuk ayat yang sama dibaca “وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يُكَذِّبُونَ” Hal itu tidak
ada hubungan dengan kabilah dan lahjah. Kata (يَكْذِبون) adalah fi`il mudhari` yang mana fi’il madhi-nya (كَذَبَ); sedangkan kata (كَذّبَ) adalah fi`il mudhari` yang
mana fi`il madhi-nya (كَذّبَ). Kata (كَذَبَ) dengan takhfif berarti “jika
berkata, ia berdusta.” Adapun kata (كذّب)
dengan tasydid memiliki makna “ia berkata kepada orang lain: engkau dusta.”
Yang satu maksudnya “berdusta”; yang satu lagi maksudnya “mendustakan.” Maka
Allah memberitahu kita bahwa mereka adalah kaum yang berkata dusta sekaligus
juga jika para rasul datang, mereka mendustakannya. Dengan demikian kedua
qiro’at pada nash yang sama ini serupa dengan dua ayat masing-masing
mengabarkan makna yang berbeda satu sama lain, akan tetapi tidak
bertolak-belakang ataupun paradoks antara dua makna tersebut.
Misalnya, Zaid bin Tsabit dikirim untuk
membacakan mushaf gaya Madinah, Abdullah bin Sa’ib membacakan mushaf gaya
Mekkah, Al-Mughirah bin Syihab gaya Syam, Abu Abdurrahman As-Silmi gaya Kufah
dan Amir bin Abdulqueis gaya Bashrah.[36]
Salinan Mushaf Utsman tidak ber syakl dan tidak bertitik. Cara penulisan
yang demikan itu membuka kemungkinan terjadinya berbagai macam bacaan di
berbagai daerah yang mempunyai adat tersendiri sesuai dengan
kebiasaan-kebiasaannya.
Maka dari itu, Abul Aswad Ad-Duali dikenal
sebagai orang yang pertama kali meletakkan kaidah tata bahasa Arab atas
perintah khalifah Ali bin Abi Thalib.[37]
Banyak orang yang berpendapat bahwa penemuan akan cara penulisan al-Qur’an
dengan hrurf-huruf bertitik kelanjutan dari kegiatan Abul Aswad Ad-Duali.
Adapun pemberian syakl merupakan
bagian dari proses penyempurnaan penulisan atau kodifikasi al-Qur’an. Hal itu
dilaksanakan demi kesatuan yang murni dalam mempelajari al-Qur’an sebagai wahyu
Allah SWT.
Karena itulah, maka al-Qur’an yang ada di
tangan kaum muslim saat ini adalah Qath’I
bersumber dari Allah, tanpa sedikit pun perubahan maupun modifikasi. Benar
bahwa kitab Allah SWT ini merupakan mukjizat yang diberikan kepada Nabi
Muhammad SAW tanpa mengandung kebatilan sedikit pun, kitab suci yang diturunkan
Allah Yang Maha Bijaksana Maha Terpuji. Pengakuan ini bukan hanya diakui oleh
kaum muslim, tetapi juga oleh para orientalis. Goer berkata:
Sesungguhnya
mushaf yang telah dikumpulkan oleh Utsman bin Affan telah sampai kepada kita
secara mutawatir tanpa sedikitpun perubahan. Ia telah dipelihara dengan
perhatian yang luar biasa, dimana tidak terbersik sedikitpun adanya perubahan
pada naskah-naskah yang tidak terbatas itu dan telah diedarkan di negeri Islam,
sehingga hanya satu al-Qur’an bagi semua kelompok Islam yang berselisih.
Penggunaan secara kolektif terhadap nas yang sama telah diterima semua kalangan
hingga saat ini. Ia bisa dianggap sebagai hujah terbesar dan bukti kesahihan
nas yang diturunkan yang ada pada kita.[38]
E.
Makna
Tujuh Huruf dalam Kodifikasi Al-Qur’an
Orang Arab mempunyai keberagamn lahjah (dialek) dalam langgam, suara dan
huruf-huruf sebagaimana diterangkan secara komperehensif dalam kitab-kitab
sastra. Apabila orang Arab berbeda dialek dalam mengungkapkan sesuatu makna
dengan perbedaan tertentu, maka al-Qur’an yang diwahyukan Allah kepada
Rasul-Nya, menyempurnakan makna kemukjizatannya karena ia mencakup semua huruf
dan ragam qira’ah di antara lahjah-lahjah itu. Ini menjadi salah satu sebab
memudahkan mereka untuk membaca, menghafal dan memahaminya.[39]
Penggunaan tujuh huruf dalam kodifikasi
al-Qur’an yang dimaksud, Ibnu Abbas RA berkata, Rasulullah SAW bersabda :
“ Jibril membacakan al-Qur’an kepadaku dengan satu huruf.
Kemudian berulang kali aku meminta agar huruf itu ditambah, Ia pun menambahnya
sampai tujuh huruf ( sab’atu ahruf ).
”
Sehingga Ibnu Hayyan mengatakan, “ Ahli Ilmu berbeda pendapat tentang
arti kata tujuh huruf menjadi tiga puluh lima pendapat.”[40] Adapun makna tujuh buah huruf dari
beberapa pendapat para ulama yang dapat ditafsirkan mendekati maknanya, yaitu[41]
:
1. Pertama,
Sebagian besar ulama, tujuh huruf itu adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa
Arab mengenai satu makna. Adapun ketujuh bahasa itu Quraisy, Hudzail, Saqif,
Hawazin, Kinanah Tamim dan Yaman.
Menurut
Abu Hatim As-Sijistani, al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy, Hudzail,
Tamim, Azad, Rabiah, Hawazin dan Sa’ad bin Abi Bakar.
2. Kedua,
yang
dimaksud tujuh huruf itu ialah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab yang
ada, tujuh huruf yang bertebaran di berbagai surat al-Qur’an, bukan tujuh
bahasa yang berbeda dalam kata tetapi sama dalam makna.
3. Ketiga,
dalam
tujuh segi amr (perintah), nahyu (larangan), wa’d (ancaman),
qashash (cerita), jadal (perdebatan) dan matsal (perumpamaan).
Atau amr, nahyu, halal, haram, muhkam,
mutasyabih dan amtsal.
4. Keempat,
tujuh
macam hal yang didalamnya terdapat ikhtilaf (perbedaan), yaitu : Ikhtilaf
Asma, I’rab, tashrif, taqdim, ibdal, sebab adanya penambahan dan pengurangan,
lahjah pembacaan, tidak bisa diartikan secara harfiah dan sebagai
qira’at sab’ah.
Pendapat yang terkuat dari keempat pendapat
tersebut yaitu pendapat pertama, yang menyebutkan bahwa tujuh huruf yang
dimaksud adalah tujuh macam bahasa dari dialek bahasa-bahasa Arab dalam
mengungkapkan makna yang sama. Seperti, Sufyan bin
Uyainah, Ibnu Jarir, Ibnu Wahab dan lainnya serta Hadist yang mendukung
pendapat ini.
Berkata Ibnu Abdil Barr, “ Ketujuh huruf itu mempunyai makna yang sama
dengan pengertiannya, tetapi berbeda bunyi ucapannya. Dan tidak satu pun di
antaranya yang mempunyai makna atau sisi-sisi saling berlawanan, seperti rahmat
merupakan lawan dari adzab.”[42]
Hikmah yang terdapat pada makna tujuh huruf tersebut, yaitu untuk memudahkan bacaan dan
hafalan bagi bangsa ummi, bukti
kemukjizatan al-Qur’an bagi naluri kebahasaan orang Arab dan kemukjizatan
al-Qur’an dalam aspek makna dan hukum-hukumnya. Hal inilah yang membuat
al-Qur’an relevan dalam setiap masa.[43]
[3] Al Itqan
I. hal.99. dan Al Burhan. hal.237 dari : DR Subhi As Shalih. Ibid., hal.81.
[4] Ibid., hal.81.
[5] Ibid., hal.81.
[6] Al
Zarqani. Manahil fi Ulum Al Qur’an. 2002.
hal.259.
[7] Drs.
Hafidz Abdurrahman. MA. Ulumul Qur’an
Praktis. Bogor: Pustaka Utama.2003. hal.82.
[8] Ibid., hal.82.
[9] Blachere.
Le
Coran. Introduction.12.
[10] Drs
Hafidz Abdurrahman. Op.Cit., hal.
[11]
Ibid., hal.85.
[12] Soenaryo.
Muqaddimah Terjemah Al-Qur’an.
Kerajaan Arab Saudi. t.t., hal.18.
[13] Al
Burhan I. Op.Cit. hal.262. dari DR
Subhi As Shalih. Op.Cit.,
[14] Drs.
Hafidz Abdurrahman. MA. Op.Cit., hal.87.
[15]
Syaikh Manna’ Al Qaththan. Pengantar
Studi Ilmu Al-Qur’an. Terj. Jakarta: Pustaka Al Kautsar.2006. hal.159.
[16]
Ibid., hal.167.
[17] Ibid., hal.159-160.
[18]
Al Burhan I. Op.Cit. hal.238. Al
Itqan. Hal.101. dari DR Subhi As Shalih. Ibid.,
hal.
[19]
Drs. Hafidz Abdurrahman. Op.Cit., hal.87
[20] Ibid., hal.89.
[21] Al
Burhan I. hal.239. Al Mashahif. Hal. 5. Dari DR Subhi As Shalih. Op.Cit., hal.97.
[22] Ibid., hal.98.
[23] Ibid., hal.98.
[24] Al
Itqan. Hal.89. dari DR Subhi As Shalih. Ibid.,
hal.98-99.
[25] DR
Subhi As Shalih., Ibid., hal.99.
[26] Drs.
Hafidz Abdurrahman. Op.CIt., hal.90.
[27] Syaikh
Manna’ Al Qaththan. Op.Cit., hal.167-169.
[28] Drs.
Hafidz Abdurrahman. Op.Cit., hal.91.
[29] Ibid., hal.91-92.
[30] DR
Subhi As Shalih. Op.Cit., hal.102-103.
[31] Ibid., hal.104.
[32] Al
Itqan I. hal.102. dari DR Subhi As Shalih. Ibid.,
hal.105.
[33] DR
Subhi As Shalih. Ibid., hal.105.
[34] Ibid., hal.108.
[35] Ibid., hal.108-109.
[36]
Manahiful Irfan I. hal.386-397. dari DR Subhi As Shalih. Ibid., hal.110.
[37] DR
Subhi As Shalih. Ibid., hal.117.
[38] Ali Al
Hasan. Hal.145. dari Drs. Hafidz Abdurrahman. Op.CIt., hal.92.
[39]
Syaikh Manna’ Al Qaththan. Op.Cit., hal.194.
[40] Ibid., hal.196
[41] Ibid., hal. 196-201.
[42] Al
Itqan. 1/47. Dari Syaikh Manna Al Qaththan. Op.Cit.,
hal.201.
[43] Syaikh
Manna’ Al Qaththan. Ibid., hal.209-210.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Setelah
mempelajari secara seksama mengenai proses penghimpunan al-Qur’an pada masa
Nabi Muhammad SAW dan kodifikasinya pada masa sahabat. Adapun kesimpulan yang
dapat diambil dari hasil kajian di atas adalah sebagai berikut:
- Bahwa penghimunan atau kodifikasi al-Qur’an merupakan
suatu cara dimana al-Qur’an itu mejadi satu-kesatuan wahyu Allah dalam
sebuah mushaf. Adapun caranya yaitu melalui penghafalan dan penulisan.
Penukilannya berarti memindahkan materi yang sama dari sumber asli ke
dalam mushaf.
- Dengan
demikian pada zaman Rasulullah SAW penghimpunan atau pengumpulan al-Qur’an
telah dilaksanakan baik dihafalkan secara lisan maupun dikumpulan dalam
bentuk tulisna secara material bahwa penyusunan al-Qur’an tidak dihimpun
dalam mushaf himpunan demikian itu memang belum dibutuhkan karena para sahabat
menghafal al-Qur’an di dalam dada sesuai petunjuk rasul.
- Perintah
kodifikasi al-Qur’an oleh Abu Bakar selesai dilaksanakan dalam waktu satu
tahun . Zaid menerima perintah beberapa saat setelah berakhirnya perang yamamah dan rampung
beberapa waktu menjelang wafatnya Abu Bakar. Kita ingat akan kalimat yang
diucapkan Ali bin Abi Thalib “Semoga Allah melimpahkan rahmatnya kepada
Abu Bakar , orang pertama yang menghimpun kitabullah di antara lauh
mahfudz dan mushaf”. Adapun Umar bin Khatab , dalam sejarah ia tercatat
sebagai pemilik gagasan kodifikasi al-Qur’an , sedangkan Zaid bin Tsabit
tercatat sebagai pelaksana teknis.
- Perintah kodifikasi al-Qur’an pada
masa Utsman bin Affan berawal dari kekhawatiran akan timbulnya perbedaan
yang menimbulkan perpecahan setelah banyaknya mushaf yang beredar. Salinan
mushaf Utsaman bin Affan bersumber dari sumber mushaf induk yaitu mushaf
Abu Bakar yang berada di tangan Hafshah sebagai pewaris mushaf setelah
Umar bin Khatab meninggal dunia.
- Al-Qur’an dihumpun serta disusun
sedemikian rupa agar umat muslim dapat mempelajarinya dengan baik dan
seksama tentang wahyu Allah SWT.
B.
Saran
Sebagaimana
yang telah kita ketahui bahwa al-Qur’an telah melalui beberap proses yang
panjang sehingga menjadi sebuah mushaf yang sampai kepada kita semua. Maka dari
itu mari kita berpikir seimbang secara iman dan akal kita untuk mempelajari
serta memahami segala bentuk yang terkait dengan pembelajaran mengenai
wahyu-wahyu Allah SWT yang telah dirurunkan kepada Rasul-Nya. Mari kita jaga
al-Qur’an sebagai pedoman hidup kita umat muslim dalam menjalankan tuntutan dan
tuntunan kehidupan yang telah diberikan oleh Allah SWT. Agar senantiasa berada
dalam jalan yang terang dan lindungan-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman,
Hafidz. Ulumul Quran Praktis. Bogor:Pustaka
Utama. 2003.
Al
Qaththan, Syaikh Manna’. Pengantar Studi
Ilmu Al Qur’an. Jakarta: Pustaka Al Kautsar. 2006.
Al Zarqani, Manahil
al-‘Urfan fi Ulum Al-Qur’an. 2002
As
Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu
Al-Quran. Terj. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1990.
Blacher.
Le Coran. Introduction.12.
Soenaryo.
Muqaddimah Terjemah Al-Qur’an.
Kerajaan Arab Saudi. t.t.,
0 komentar:
Posting Komentar